Secara umum, kata boyband merujuk kepada sekumpulan pria muda yang
bernyanyi, tanpa memainkan alat musik. Mereka berbagi suara, mungkin
sebagian menari.
Yang disebut-sebut sebagai boyband pertama adalah The Jacksons, waktu itu bernama The Jackson Five. Kelak, dari The Jacksons inilah lahir raja pop yang mengubah kultur musik dunia. Itu di era 1960an.
Kelahiran boyband ini sendiri terhitung konsisten, karena di 70 dan 80an ada New Edition, juga New Kids on the Block. Yang besar di tahun 90an, tak mungkin bisa lupa Boyz II Men, All 4 One, sampai Backstreet Boys dan NSync.
Era 2010 lebih menarik lagi. One Direction mengguncang dunia, sementara histeria ditambah dengan reuninya boyband-boyband lama semacam NKOTBSB dan Nsync, yang mana Justin Timberlake sudah bermetamorfosa menjadi seorang penyanyi super seksi.
Soal kemampuan memainkan instrumen ini menjadi permasalahan sendiri, di
mana boyband kerap diremehkan. Tetapi jika dipandang sebaliknya, justru
cowok-cowok 'cantik' One Direction mencatatkan penjualan yang telak mengalahkan pria-pria yang garang memainkan gitar atau menggebuk drum sekuat tenaga.
Lebih mengerucut kepada boyband saja, segala hal tentang mereka bisa
dijual. Maksudnya, SEGALA HAL. Dan selalu menimbulkan histeria.
Tampaknya hal inilah yang sudah dibidik dan diyakini Simon Cowell ketika dia membentuk One Direction.
Sebagai seseorang yang sudah berkutat di dunia showbiz selama 34 tahun, Simon tahu dia lebih bisa 'menjual' One Direction dibandingkan
sebuah band (yang memainkan instrumen musik). Dia tahu dia hanya perlu
'mengemas' dan merancang strategi-strategi tertentu.
Paras rupawan hampir pasti menjadi syarat boyband. Setidaknya ada satu
atau dua dengan paras 'lebih' dari kawan-kawannya, untuk digilai para
gadis. Berikutnya, lagu dan klip yang ear dan eye catchy. Ke depannya,
penampilan personel terus digarap secara serius.
Ada pula faktor pendukung lain, seperti pacaran sesama selebritis. Ingat kisah cinta Harry Styles dan Taylor Swift, kan? Serta bagaimana Taylor mendapat banjir ancaman dari para penggemar One Direction. Tentu tidak semua penggemar berlaku demikian, namun jika dipikir, Indonesia juga punya banyak boyband. Mulai Cool Colors, ME, Trio Libels, sampai yang kini kerap menghiasi layar televisi, dari SMASH dan Coboy Junior sampai yang belum pernah kamu dengar namanya.
Kelihatannya kemasan dan strategi lebih matang diterapkan oleh manajemen
di luar negeri, yang membuat boyband di luar Indonesia lebih bertahan
lama. Mempertahankan posisi dan popularitas tentu lebih sukar dilakukan
daripada meraihnya.
Bagaimanapun, ada hal-hal lain yang harus dikorbankan demi popularitas bersama itu. Misalnya, Stephen Gately (Boyzone) yang selama bertahun-tahun tidak berani mengungkapkan sejatinya dia menyukai sesama jenis, lantaran memikirkan masa depan Boyzone. Atau tentang boyband asal Korea yang dilarang pacaran demi kepentingan bersama (termasuk manajemen).
Berbeda dengan band yang lebih merdeka (independent) dalam menentukan
langkah-langkah, boyband biasanya punya manajemen tersendiri. Semakin
banyak yang terlibat, tentu semakin banyak tanggung jawab diemban. Kata
siapa jadi personel boyband itu mudah? Bisa jadi, bergabung dalam sebuah
band jauh lebih mudah, di mana lebih bisa menjadi diri sendiri.
Minggu, 17 November 2013
Fenomena Pudarnya Pesona Girlband Dan Boyband Indonesia
Sejak tahun 2010 scene musik tanah air diserbu oleh hadirnya sekumpulan
pria dan wanita yang menari enerjik sambil menyanyi di atas panggung.
Dengan gaya yang berciri, meski terkadang berkiblat pada Korean Style
dan segala turunannya, musik-musik dari mereka yang ear catchy mampu
diterima masyarakat dan meledak.
Namun seiring berjalannya waktu, girlband dan boyband ini mulai tenggelam. Para penggemar pun mulai meninggalkan mereka. Menanggapi fenomena tersebut, pengamat musik Budi Ace pun berkomentar.
Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat konsumen atau penikmat musik meninggalkan mereka. Faktor pertama menurut Budi, boyband-girlband ini hanyalah sebuah boneka yang hadir tanpa visi dan misi.
"Mereka hanyalah boneka semata. Apa yang mereka lakukan hanyalah semacam menyanyikan saja tidak ada visi dan misi yang jelas tentang karya yang mereka bawakan. Di sini kepentingan bisnis industri lah yang dikedepankan," katanya saat di wawancarai, Minggu (20/10).
Faktor kedua, tidak adanya penjiwaan terhadap karya yang dimiliki. "Tidak ada penjiwaan terhadap karya. Di mana mereka kurang menyadari betul pentingnya penjiwaan atas sebuah karya. Contohnya tidak ada yang bisa meniru bagaimana Duta menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7, karena Duta kental dengan logat Jawanya. Atau Ariel yang sangat kentara nuansa Bandung, atau Slank yang kental dengan gaya Jakarta-nya," ujar Budi yang juga seorang jurnalis musik itu.
Budi Ace juga mengaku telah membaca sebuah studi bahwa pemerintah Korea, dengan sungguh-sungguh memperhatikan potensi boyband-girlband ini untuk ke depannya. Sehingga keunikan mereka dikenal tak hanya di kandang sendiri, tapi juga di dunia musik internasional. Hal itu yang menurut Budi tidak diterapkan di Indonesia.
"Pemerintah memperhatikan pentingnya pemahaman akan budaya, teknologi, pokoknya segala yang menyangkut potensi dari Kor-Sel. Selain itu pemerintah di sana juga melakukan inkulturasi budaya untuk nantinya mereka (boyband-girlband) bawa ke luar. Itulah sebabnya mereka memiliki kekhasan dan keunikan sendiri yang tidak ditemukan di dunia lain. Dan itu juga yang menjadi salah satu nilai jual yang menguntungkan bagi mereka," ungkap Budi Ace.
Budi lalu memberi contoh tentang wujud dari sikap pemerintah Korea tersebut. "Kita bisa lihat beberapa waktu lalu saat bagaimana Gangnam Style sempat merajai dunia dan itu bukti dari kesungguhan dan kerja keras banyak pihak di Korea sana. Lihat bagaimana dia menyanyi. Itu kan sangat Korea banget melody lagunya," jelasnya.
Lalu, bagaimana dengan faktor terakhir? "Pernah saya menyaksikan sebuah acara audisi boyband di mana masukan dari para juri kepada para peserta hanya dalam batasan gerak ataupun olah vokal. Buat saya, dunia musik lebih dari itu, butuh penjiwaan, butuh identitas untuk dapat bertahan. Dan untuk dapat dicintai, mereka harus dapat menghasilkan suatu karya. Menulis lagu bagi saya adalah hal yang mutlak. dan itu tidak saya temukan pada era gegap gempita boyband yang sekarang hampir mati ini," paparnya.
Budi lalu menambahkan, "Kalau saya amati, data di lapangan menunjukkan 40% pecinta SMASH itu adalah pecinta Morgan, 60%-nya dibagi sama personel lainnya. Jadi bisa dibayangkan bagaimana nasib sebuah grup boyband itu ke depannya."
Namun faktor yang paling memprihatinkan dari itu semua adalah minusnya identitas bangsa ini dikemas oleh para boyband maupun girlband di tanah air.
"Mari tengok karya boyband-girlband kita, mereka Korean look sekali. Mulai dari penampilan dan melody vokal dan pola ritme lagu, semuanya mengadaptasi habis pesona Korea. Kita kehilangan identitas kebudayaan Indonesia, yang sesungguhnya merupakan jiwa atau roh yang diekspresikan melalui lagu," pungkas Budi.
Namun seiring berjalannya waktu, girlband dan boyband ini mulai tenggelam. Para penggemar pun mulai meninggalkan mereka. Menanggapi fenomena tersebut, pengamat musik Budi Ace pun berkomentar.
Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat konsumen atau penikmat musik meninggalkan mereka. Faktor pertama menurut Budi, boyband-girlband ini hanyalah sebuah boneka yang hadir tanpa visi dan misi.
"Mereka hanyalah boneka semata. Apa yang mereka lakukan hanyalah semacam menyanyikan saja tidak ada visi dan misi yang jelas tentang karya yang mereka bawakan. Di sini kepentingan bisnis industri lah yang dikedepankan," katanya saat di wawancarai, Minggu (20/10).
Faktor kedua, tidak adanya penjiwaan terhadap karya yang dimiliki. "Tidak ada penjiwaan terhadap karya. Di mana mereka kurang menyadari betul pentingnya penjiwaan atas sebuah karya. Contohnya tidak ada yang bisa meniru bagaimana Duta menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7, karena Duta kental dengan logat Jawanya. Atau Ariel yang sangat kentara nuansa Bandung, atau Slank yang kental dengan gaya Jakarta-nya," ujar Budi yang juga seorang jurnalis musik itu.
Budi Ace juga mengaku telah membaca sebuah studi bahwa pemerintah Korea, dengan sungguh-sungguh memperhatikan potensi boyband-girlband ini untuk ke depannya. Sehingga keunikan mereka dikenal tak hanya di kandang sendiri, tapi juga di dunia musik internasional. Hal itu yang menurut Budi tidak diterapkan di Indonesia.
"Pemerintah memperhatikan pentingnya pemahaman akan budaya, teknologi, pokoknya segala yang menyangkut potensi dari Kor-Sel. Selain itu pemerintah di sana juga melakukan inkulturasi budaya untuk nantinya mereka (boyband-girlband) bawa ke luar. Itulah sebabnya mereka memiliki kekhasan dan keunikan sendiri yang tidak ditemukan di dunia lain. Dan itu juga yang menjadi salah satu nilai jual yang menguntungkan bagi mereka," ungkap Budi Ace.
Budi lalu memberi contoh tentang wujud dari sikap pemerintah Korea tersebut. "Kita bisa lihat beberapa waktu lalu saat bagaimana Gangnam Style sempat merajai dunia dan itu bukti dari kesungguhan dan kerja keras banyak pihak di Korea sana. Lihat bagaimana dia menyanyi. Itu kan sangat Korea banget melody lagunya," jelasnya.
Lalu, bagaimana dengan faktor terakhir? "Pernah saya menyaksikan sebuah acara audisi boyband di mana masukan dari para juri kepada para peserta hanya dalam batasan gerak ataupun olah vokal. Buat saya, dunia musik lebih dari itu, butuh penjiwaan, butuh identitas untuk dapat bertahan. Dan untuk dapat dicintai, mereka harus dapat menghasilkan suatu karya. Menulis lagu bagi saya adalah hal yang mutlak. dan itu tidak saya temukan pada era gegap gempita boyband yang sekarang hampir mati ini," paparnya.
Budi lalu menambahkan, "Kalau saya amati, data di lapangan menunjukkan 40% pecinta SMASH itu adalah pecinta Morgan, 60%-nya dibagi sama personel lainnya. Jadi bisa dibayangkan bagaimana nasib sebuah grup boyband itu ke depannya."
Namun faktor yang paling memprihatinkan dari itu semua adalah minusnya identitas bangsa ini dikemas oleh para boyband maupun girlband di tanah air.
"Mari tengok karya boyband-girlband kita, mereka Korean look sekali. Mulai dari penampilan dan melody vokal dan pola ritme lagu, semuanya mengadaptasi habis pesona Korea. Kita kehilangan identitas kebudayaan Indonesia, yang sesungguhnya merupakan jiwa atau roh yang diekspresikan melalui lagu," pungkas Budi.
Selasa, 14 Mei 2013
Bagaimana Proses Pemotretan Foto Keluarga Yang Unik
Bagaimana kalau anda mendapat order memotret sebuah keluarga, namun
permintaan mereka adalah sebuah foto yang unik, nyentrik dan sedikit
gila? Ben Von Wong punya jawabnya. (Foto karya Von Wong ini adalah salah
satu dari 15 foto keluarga unik dan kreatif yang bisa anda lihat disini).
Von Wong mendatangi rumah mereka dan menyimpulkan tangga akan menjadi subyek yang menjadi pondasi foto keluarga tersebut. Ide Von Wong adalah sebuah foto portrait yang dinamis yang mencerminkan karakter anggota keluarga. Si Bapak akan berpose duduk dengan kalem membaca koran, sementara Ibu akan tampak sibuk setengah mati mengurusi anak-anak, cucian dan sarapan sekaligus.
Detail proses pemotretan bisa anda lihat dalam video dibawah ini. Props berupa telur dan sarapan pagi adalah makanan asli yang sudah dibekukan. Sementara obyek melayang lain digantung dengan menggunakan senar dan tongkat hockey. Sementara cahaya dari jendela disimulasi dengan seebuah flash:
Berikut ini beberapa foto proses pemotretan, gambar sebelah kiri menunjukkan proses asli, sebelah kiri dengan subyek yang tidak diperlukan sudah di hilangkan.
Hasil foto akhir adalah foto komposit, gabungan dari beberapa foto yang akhirnya di olah menjadi satu. Seperti anda lihat, ide segar, kemampuan untuk mengkomunikasikan ide tersebut serta mengatur seluruh keluarga agar bisa berpose secara natural menjadi kunci. Silahkan lihat lebih jelas dan lengkap urutan proses foto mentahnya di blog Von Wong.
Foto-foto karya Ben Von Wong, dipakai dengan ijin tertulis.
Von Wong mendatangi rumah mereka dan menyimpulkan tangga akan menjadi subyek yang menjadi pondasi foto keluarga tersebut. Ide Von Wong adalah sebuah foto portrait yang dinamis yang mencerminkan karakter anggota keluarga. Si Bapak akan berpose duduk dengan kalem membaca koran, sementara Ibu akan tampak sibuk setengah mati mengurusi anak-anak, cucian dan sarapan sekaligus.
Detail proses pemotretan bisa anda lihat dalam video dibawah ini. Props berupa telur dan sarapan pagi adalah makanan asli yang sudah dibekukan. Sementara obyek melayang lain digantung dengan menggunakan senar dan tongkat hockey. Sementara cahaya dari jendela disimulasi dengan seebuah flash:
Berikut ini beberapa foto proses pemotretan, gambar sebelah kiri menunjukkan proses asli, sebelah kiri dengan subyek yang tidak diperlukan sudah di hilangkan.
Hasil foto akhir adalah foto komposit, gabungan dari beberapa foto yang akhirnya di olah menjadi satu. Seperti anda lihat, ide segar, kemampuan untuk mengkomunikasikan ide tersebut serta mengatur seluruh keluarga agar bisa berpose secara natural menjadi kunci. Silahkan lihat lebih jelas dan lengkap urutan proses foto mentahnya di blog Von Wong.
Foto-foto karya Ben Von Wong, dipakai dengan ijin tertulis.
Bedanya Fotografer Pro & Amatir
fotografi amatir diartikan sebagai orang yang mencintai fotografi dan
tidak menghasilkan uang dari kegiatan tersebut. Sedangkan fotografer pro
adalah seorang fotografer yang menghasilkan uang dari fotografi.
Definisi di atas agak janggal karena hanya melihat dari sisi luarnya saja. Sesuai definisi tersebut, banyak fotografer pro memiliki hasil karya yang di bawah standar. Di lain pihak, banyak yang masuk definisi fotografer amatir tapi memiliki karya yang jauh lebih bagus dan konsisten.
Bukannya agak aneh memberikan gelar 'pro' kepada tukang foto keliling dan 'amatir' kepada fotografer yang menghasilkan karya yang spektakuler tapi tidak menjual jasa/karyanya?
Maka itu, menurut saya perlu ada redefinisi istilah amatir dan fotografer pro supaya lebih sesuai. Definisi pro dan amatir seharusnya tidak berdasarkan masalah uang semata.
Menurut yang saya amati, fotografer pro dan amatir memiliki perbedaan yang kontras dalam cara pikir dan kebiasaan mereka. Ciri-ciri di bawah ini tidak hanya berlaku dibidang fotografi saja tapi juga di bidang pekerjaan lainnya.
Pro bekerja dengan konsentrasi tinggi dan cenderung menjelajahi sesuatu secara mendalam, sedangkan amatir mudah teralihkan perhatiannya dan biasanya mempelajari sesuatu hanya sebatas di permukaan. Misalnya, profesional giat belajar dan konsisten dalam berlatih.
Sedangkan amatir berlatih kalau hanya suasana hatinya lagi bagus saja. Saat pro berlatih di studio, amatir sibuk dengan BlackBerry, Twitter dan Facebooknya. Sewaktu praktik juga sering tidak serius. Jika pergi ke suatu tempat, Pro akan menjelajah lebih lama tentang tempat itu, mencari tahu apa keunikan dan karakter suatu tempat.
Kalau perlu nungguin dari pagi sampai malam untuk mendapatkan cahaya yang paling sesuai dengan imajinasinya. Jika bertemu seseorang, fotografer pro akan mencoba mengenal dan menggali lebih dalam tentang orang tersebut.
Sedangkan amatir akan sekadar jeprat-jepret lalu kembali naik ke mobil. Profesional tahu apa yang harus dikerjakan dan jalan mana yang harus ditempuh. Jalan tersebut kecil dan terjal, tapi jelas dan tidak bercabang. Sedangkan amatir senantiasa terpengaruh dengan jalan yang bercabang-cabang dengan tujuan yang tidak jelas.
Amatir sangat membutuhkan pengakuan dari kelompok/gangnya. Maka itu banyak amatir yang menempelkan watermark yang berisi kata-kata yang dianggap keren seperti 'Blablabla Photoworks' dan kemudian sibuk men-tag orang-orang yang berada di jejaring sosial dengan agresif.
Kalau dapat banyak 'like' atau komentar yang bagus rasanya tubuh jadi ringan, rasanya seperti melayang. Masalahnya, 'like' di Facebook kebanyakan itu sebagai bentuk dukungan teman saja tapi belum berarti karyanya bagus. Ironisnya, amatir juga takut hasil fotonya terlalu bagus. Jika fotonya terlalu menonjol dari yang lainnya, kemungkinan besar akan dikritik dan dikucilkan oleh 'gengnya'.
Mungkin salah satu hal yang paling membedakan antara pro dan amatir adalah amatir suka mencari jalan pintas sedangkan pro siap menjalani jalan yang sulit dan panjang untuk mencapai impiannya. Salah satu contohnya, amatir biasanya mencoba mengatasi masalah mereka dengan membeli kamera dan lensa baru. Harapannya mainan baru tersebut dapat mengatasi kekurangan teknik dan seni mereka dengan cepat.
Saat mengajak mengikuti kursus fotografi, kadang-kadang saya mendapatkan komentar kok mahal?, jawaban semacam ini yg selalu mengagetkan karena saya tahu peralatan fotografi mereka rata-rata tidak kurang dari Rp 10 juta, belum lagi aksesorisnya.
Di lain pihak, pro menyadari peralatan yang sesuai saja tidak cukup, seni dan teknik lebih penting untuk terus dipelajari dan diasah. Amatir yang ingin menjadi pro terus menerus belajar dan praktik yang konsisten.
Tidak mudah menjadi pro, karena pasti akan banyak kritik dan rintangan. Seringkali rintangan itu dari diri sendiri. Mungkin kita sudah merasa puas diri dan nyaman dengan kehidupan sebagai amatir, dan itu wajar saja. Tidak jarang juga amatir menyalahkan orang lain atau suasana misalnya keluarga, teman, bos yang tidak mendukung hobi kita.
Amatir biasanya mundur dari hobinya kalau bertemu rintangan-rintangan, kalau pro lanjut terus, malah menularin orang-orang yang tadinya tidak mendukung he he he.. Berita baiknya, menjadi pro itu gratis. Kita hanya perlu mengubah pandangan kita dan kebiasaan kita. Keputusan menjadi pro itu imbalannya besar. Kita bisa menggapai impian dan melakukan apa yang benar-benar kita cintai.
Pro:
1. Berkonsentrasi tinggi, rutin praktik
2. Mementingkan kedalaman suatu foto/cerita
3. Konsisten menghasilkan karya yang baik
4. Siap dan bersedia untuk menempuh jalan yang sulit dengan tujuan mendapatkan hasil foto yang bagus
5. Mendapatkan banyak rintangan tapi tidak cepat mundur dan putus asa
Amatir:
1. Sering teralihkan perhatiannya (distracted), hasil foto tidak konsisten dan biasanya tergantung mood
2. Membutuhkan pengakuan dari kelompok, teman atas hasil karyanya
3. Takut fotonya kurang bagus/kurang diterima, takut terlalu bagus sehingga dikritik atau dikucilkan
4. Berusaha mencari jalan pintas supaya fotonya bagus, salah satunya dengan membeli alat fotografi yang mahal
5. Saat menemukan rintangan, amatir cepat menyerah dan berhenti
Definisi di atas agak janggal karena hanya melihat dari sisi luarnya saja. Sesuai definisi tersebut, banyak fotografer pro memiliki hasil karya yang di bawah standar. Di lain pihak, banyak yang masuk definisi fotografer amatir tapi memiliki karya yang jauh lebih bagus dan konsisten.
Bukannya agak aneh memberikan gelar 'pro' kepada tukang foto keliling dan 'amatir' kepada fotografer yang menghasilkan karya yang spektakuler tapi tidak menjual jasa/karyanya?
Maka itu, menurut saya perlu ada redefinisi istilah amatir dan fotografer pro supaya lebih sesuai. Definisi pro dan amatir seharusnya tidak berdasarkan masalah uang semata.
Menurut yang saya amati, fotografer pro dan amatir memiliki perbedaan yang kontras dalam cara pikir dan kebiasaan mereka. Ciri-ciri di bawah ini tidak hanya berlaku dibidang fotografi saja tapi juga di bidang pekerjaan lainnya.
Pro bekerja dengan konsentrasi tinggi dan cenderung menjelajahi sesuatu secara mendalam, sedangkan amatir mudah teralihkan perhatiannya dan biasanya mempelajari sesuatu hanya sebatas di permukaan. Misalnya, profesional giat belajar dan konsisten dalam berlatih.
Sedangkan amatir berlatih kalau hanya suasana hatinya lagi bagus saja. Saat pro berlatih di studio, amatir sibuk dengan BlackBerry, Twitter dan Facebooknya. Sewaktu praktik juga sering tidak serius. Jika pergi ke suatu tempat, Pro akan menjelajah lebih lama tentang tempat itu, mencari tahu apa keunikan dan karakter suatu tempat.
Kalau perlu nungguin dari pagi sampai malam untuk mendapatkan cahaya yang paling sesuai dengan imajinasinya. Jika bertemu seseorang, fotografer pro akan mencoba mengenal dan menggali lebih dalam tentang orang tersebut.
Sedangkan amatir akan sekadar jeprat-jepret lalu kembali naik ke mobil. Profesional tahu apa yang harus dikerjakan dan jalan mana yang harus ditempuh. Jalan tersebut kecil dan terjal, tapi jelas dan tidak bercabang. Sedangkan amatir senantiasa terpengaruh dengan jalan yang bercabang-cabang dengan tujuan yang tidak jelas.
Amatir sangat membutuhkan pengakuan dari kelompok/gangnya. Maka itu banyak amatir yang menempelkan watermark yang berisi kata-kata yang dianggap keren seperti 'Blablabla Photoworks' dan kemudian sibuk men-tag orang-orang yang berada di jejaring sosial dengan agresif.
Kalau dapat banyak 'like' atau komentar yang bagus rasanya tubuh jadi ringan, rasanya seperti melayang. Masalahnya, 'like' di Facebook kebanyakan itu sebagai bentuk dukungan teman saja tapi belum berarti karyanya bagus. Ironisnya, amatir juga takut hasil fotonya terlalu bagus. Jika fotonya terlalu menonjol dari yang lainnya, kemungkinan besar akan dikritik dan dikucilkan oleh 'gengnya'.
Mungkin salah satu hal yang paling membedakan antara pro dan amatir adalah amatir suka mencari jalan pintas sedangkan pro siap menjalani jalan yang sulit dan panjang untuk mencapai impiannya. Salah satu contohnya, amatir biasanya mencoba mengatasi masalah mereka dengan membeli kamera dan lensa baru. Harapannya mainan baru tersebut dapat mengatasi kekurangan teknik dan seni mereka dengan cepat.
Saat mengajak mengikuti kursus fotografi, kadang-kadang saya mendapatkan komentar kok mahal?, jawaban semacam ini yg selalu mengagetkan karena saya tahu peralatan fotografi mereka rata-rata tidak kurang dari Rp 10 juta, belum lagi aksesorisnya.
Di lain pihak, pro menyadari peralatan yang sesuai saja tidak cukup, seni dan teknik lebih penting untuk terus dipelajari dan diasah. Amatir yang ingin menjadi pro terus menerus belajar dan praktik yang konsisten.
Tidak mudah menjadi pro, karena pasti akan banyak kritik dan rintangan. Seringkali rintangan itu dari diri sendiri. Mungkin kita sudah merasa puas diri dan nyaman dengan kehidupan sebagai amatir, dan itu wajar saja. Tidak jarang juga amatir menyalahkan orang lain atau suasana misalnya keluarga, teman, bos yang tidak mendukung hobi kita.
Amatir biasanya mundur dari hobinya kalau bertemu rintangan-rintangan, kalau pro lanjut terus, malah menularin orang-orang yang tadinya tidak mendukung he he he.. Berita baiknya, menjadi pro itu gratis. Kita hanya perlu mengubah pandangan kita dan kebiasaan kita. Keputusan menjadi pro itu imbalannya besar. Kita bisa menggapai impian dan melakukan apa yang benar-benar kita cintai.
Pro:
1. Berkonsentrasi tinggi, rutin praktik
2. Mementingkan kedalaman suatu foto/cerita
3. Konsisten menghasilkan karya yang baik
4. Siap dan bersedia untuk menempuh jalan yang sulit dengan tujuan mendapatkan hasil foto yang bagus
5. Mendapatkan banyak rintangan tapi tidak cepat mundur dan putus asa
Amatir:
1. Sering teralihkan perhatiannya (distracted), hasil foto tidak konsisten dan biasanya tergantung mood
2. Membutuhkan pengakuan dari kelompok, teman atas hasil karyanya
3. Takut fotonya kurang bagus/kurang diterima, takut terlalu bagus sehingga dikritik atau dikucilkan
4. Berusaha mencari jalan pintas supaya fotonya bagus, salah satunya dengan membeli alat fotografi yang mahal
5. Saat menemukan rintangan, amatir cepat menyerah dan berhenti
Langganan:
Postingan (Atom)