Minggu, 17 November 2013

Boyband Luar Negeri, Mengapa Lebih Bertahan Lama?

Secara umum, kata boyband merujuk kepada sekumpulan pria muda yang bernyanyi, tanpa memainkan alat musik. Mereka berbagi suara, mungkin sebagian menari.
Yang disebut-sebut sebagai boyband pertama adalah The Jacksons, waktu itu bernama The Jackson Five. Kelak, dari The Jacksons inilah lahir raja pop yang mengubah kultur musik dunia. Itu di era 1960an.
Kelahiran boyband ini sendiri terhitung konsisten, karena di 70 dan 80an ada New Edition, juga New Kids on the Block. Yang besar di tahun 90an, tak mungkin bisa lupa Boyz II Men, All 4 One, sampai Backstreet Boys dan NSync.
Era 2010 lebih menarik lagi. One Direction mengguncang dunia, sementara histeria ditambah dengan reuninya boyband-boyband lama semacam NKOTBSB dan Nsync, yang mana Justin Timberlake sudah bermetamorfosa menjadi seorang penyanyi super seksi.
Soal kemampuan memainkan instrumen ini menjadi permasalahan sendiri, di mana boyband kerap diremehkan. Tetapi jika dipandang sebaliknya, justru cowok-cowok 'cantik' One Direction mencatatkan penjualan yang telak mengalahkan pria-pria yang garang memainkan gitar atau menggebuk drum sekuat tenaga.
Lebih mengerucut kepada boyband saja, segala hal tentang mereka bisa dijual. Maksudnya, SEGALA HAL. Dan selalu menimbulkan histeria. Tampaknya hal inilah yang sudah dibidik dan diyakini Simon Cowell ketika dia membentuk One Direction.
Sebagai seseorang yang sudah berkutat di dunia showbiz selama 34 tahun, Simon tahu dia lebih bisa 'menjual' One Direction dibandingkan sebuah band (yang memainkan instrumen musik). Dia tahu dia hanya perlu 'mengemas' dan merancang strategi-strategi tertentu.
Paras rupawan hampir pasti menjadi syarat boyband. Setidaknya ada satu atau dua dengan paras 'lebih' dari kawan-kawannya, untuk digilai para gadis. Berikutnya, lagu dan klip yang ear dan eye catchy. Ke depannya, penampilan personel terus digarap secara serius.
Ada pula faktor pendukung lain, seperti pacaran sesama selebritis. Ingat kisah cinta Harry Styles dan Taylor Swift, kan? Serta bagaimana Taylor mendapat banjir ancaman dari para penggemar One Direction. Tentu tidak semua penggemar berlaku demikian, namun jika dipikir, Indonesia juga punya banyak boyband. Mulai Cool Colors, ME, Trio Libels, sampai yang kini kerap menghiasi layar televisi, dari SMASH dan Coboy Junior sampai yang belum pernah kamu dengar namanya.
Kelihatannya kemasan dan strategi lebih matang diterapkan oleh manajemen di luar negeri, yang membuat boyband di luar Indonesia lebih bertahan lama. Mempertahankan posisi dan popularitas tentu lebih sukar dilakukan daripada meraihnya.
Bagaimanapun, ada hal-hal lain yang harus dikorbankan demi popularitas bersama itu. Misalnya, Stephen Gately (Boyzone) yang selama bertahun-tahun tidak berani mengungkapkan sejatinya dia menyukai sesama jenis, lantaran memikirkan masa depan Boyzone. Atau tentang boyband asal Korea yang dilarang pacaran demi kepentingan bersama (termasuk manajemen).
Berbeda dengan band yang lebih merdeka (independent) dalam menentukan langkah-langkah, boyband biasanya punya manajemen tersendiri. Semakin banyak yang terlibat, tentu semakin banyak tanggung jawab diemban. Kata siapa jadi personel boyband itu mudah? Bisa jadi, bergabung dalam sebuah band jauh lebih mudah, di mana lebih bisa menjadi diri sendiri.

Fenomena Pudarnya Pesona Girlband Dan Boyband Indonesia

Sejak tahun 2010 scene musik tanah air diserbu oleh hadirnya sekumpulan pria dan wanita yang menari enerjik sambil menyanyi di atas panggung. Dengan gaya yang berciri, meski terkadang berkiblat pada Korean Style dan segala turunannya, musik-musik dari mereka yang ear catchy mampu diterima masyarakat dan meledak.
Namun seiring berjalannya waktu, girlband dan boyband ini mulai tenggelam. Para penggemar pun mulai meninggalkan mereka. Menanggapi fenomena tersebut, pengamat musik Budi Ace pun berkomentar.
Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat konsumen atau penikmat musik meninggalkan mereka. Faktor pertama menurut Budi, boyband-girlband ini hanyalah sebuah boneka yang hadir tanpa visi dan misi.
"Mereka hanyalah boneka semata. Apa yang mereka lakukan hanyalah semacam menyanyikan saja tidak ada visi dan misi yang jelas tentang karya yang mereka bawakan. Di sini kepentingan bisnis industri lah yang dikedepankan," katanya saat di wawancarai, Minggu (20/10).
Faktor kedua, tidak adanya penjiwaan terhadap karya yang dimiliki. "Tidak ada penjiwaan terhadap karya. Di mana mereka kurang menyadari betul pentingnya penjiwaan atas sebuah karya. Contohnya tidak ada yang bisa meniru bagaimana Duta menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7, karena Duta kental dengan logat Jawanya. Atau Ariel yang sangat kentara nuansa Bandung, atau Slank yang kental dengan gaya Jakarta-nya," ujar Budi yang juga seorang jurnalis musik itu.
Budi Ace juga mengaku telah membaca sebuah studi bahwa pemerintah Korea, dengan sungguh-sungguh memperhatikan potensi boyband-girlband ini untuk ke depannya. Sehingga keunikan mereka dikenal tak hanya di kandang sendiri, tapi juga di dunia musik internasional. Hal itu yang menurut Budi tidak diterapkan di Indonesia.
"Pemerintah memperhatikan pentingnya pemahaman akan budaya, teknologi, pokoknya segala yang menyangkut potensi dari Kor-Sel. Selain itu pemerintah di sana juga melakukan inkulturasi budaya untuk nantinya mereka (boyband-girlband) bawa ke luar. Itulah sebabnya mereka memiliki kekhasan dan keunikan sendiri yang tidak ditemukan di dunia lain. Dan itu juga yang menjadi salah satu nilai jual yang menguntungkan bagi mereka," ungkap Budi Ace.
Budi lalu memberi contoh tentang wujud dari sikap pemerintah Korea tersebut. "Kita bisa lihat beberapa waktu lalu saat bagaimana Gangnam Style sempat merajai dunia dan itu bukti dari kesungguhan dan kerja keras banyak pihak di Korea sana. Lihat bagaimana dia menyanyi. Itu kan sangat Korea banget melody lagunya," jelasnya.
Lalu, bagaimana dengan faktor terakhir? "Pernah saya menyaksikan sebuah acara audisi boyband di mana masukan dari para juri kepada para peserta hanya dalam batasan gerak ataupun olah vokal. Buat saya, dunia musik lebih dari itu, butuh penjiwaan, butuh identitas untuk dapat bertahan. Dan untuk dapat dicintai, mereka harus dapat menghasilkan suatu karya. Menulis lagu bagi saya adalah hal yang mutlak. dan itu tidak saya temukan pada era gegap gempita boyband yang sekarang hampir mati ini," paparnya.
Budi lalu menambahkan, "Kalau saya amati, data di lapangan menunjukkan 40% pecinta SMASH itu adalah pecinta Morgan, 60%-nya dibagi sama personel lainnya. Jadi bisa dibayangkan bagaimana nasib sebuah grup boyband itu ke depannya."
Namun faktor yang paling memprihatinkan dari itu semua adalah minusnya identitas bangsa ini dikemas oleh para boyband maupun girlband di tanah air.
"Mari tengok karya boyband-girlband kita, mereka Korean look sekali. Mulai dari penampilan dan melody vokal dan pola ritme lagu, semuanya mengadaptasi habis pesona Korea. Kita kehilangan identitas kebudayaan Indonesia, yang sesungguhnya merupakan jiwa atau roh yang diekspresikan melalui lagu," pungkas Budi.